PELATIHAN RELAWAN TITIAN KEBAIKAN GIGA INDONESIA

Perkumpulan Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia, membentuk Gugus Tugas : ErTeKa (Relawan Titian Kebaikan) yang bertujuan untuk berjejaring dalam melindungi Keluarga Indonesia dari Orientasi dan Perilaku Seksual Menyimpang (OPSM). Anggota eRTeKa terdiri dari Relawan Umum (Mahasiswa, dosen, guru, praktisi, konselor, dan lainnya) dan Relawan Ahli (Psikolog atau yang setara dengannya seperti dokter, terapis, perawat), yang telah mengikuti Pelatihan menjadi Relawan Titian Kebaikan.
Kesempatan, bagi siapa saja yang ingin bergabung menjadi eRTeKa untuk mengikuti:

PELATIHAN RELAWAN TITIAN KEBAIKAN (ERTEKA) PENGGIAT KELUARGA (GIGA) INDONESIA

Yang akan dilaksanakan pada:
???? Sabtu – Ahad / 26-27 Maret 2022
⏰ Pkl. 08.30 – 14.30 WIB / ⏰ Pkl. 08.30 – 12.00 WIB
???? via Zoom Meeting

Sambutan dan Spirit Booster:
Urgensi eRTeKa GiGa dalam Perlindungan Keluarga Indonesia
Prof. Dr. Ir. Euis sunarti, M.Si

???? Materi Hari ke-1:

  1. OPSM Gerakan Dunia & Fakta Detail OPSM Gerakan Internasional
    Milatul Ulfa, S.Si
  2. Ideologi & Teori yang Melandasi OPSM sebagai Gerakan Penyimpangan Seksual
    Dr. Dian Syafitri, S.Kom., MDigMMedia
    Tedi Kartino, S.P
  3. OPSM dari Perspektif Agama, Nilai Sosial Budaya, dan Kesehatan
    Riana Siska Tambunan, S.Pd &
    Dede Nurul Qomariah, M.Pd
  4. Faktor Dominan Pembentuk OPSM (Nature vs Nurture)
    Ir. Ratu Ana Karlina &
    Hilma Rosmy Naziah, S.Si
  5. Peran eRTeKa, Syarat, dan Pendekatan Konsultasi, Ragam serta Teknik Konsultasi
    Lisnani Sukaidawati, S.Sos, M.Si &
    Ir. Rita Sukendar

???? Materi Hari ke-2:

  1. Peran Keluarga dalam Pencegahan serta penanganan OPSM
    drh. Luluk Mariyam Fatchurrohmah & Dr. Ipah Saripah, M.Pd
  2. Komunikasi Asertif
    Siti Nurhidayah, S.Psi, M.Psi &
    Boy Haryono, S.Pd
  3. Pendekatan Terapi Konversi
    Rika Rachmawati, M.Psi, Psikolog & Rosyidah Carum, S.Psi, M.Psi Psikolog
  4. Praktek Konseling dan Rencana Tindakan Lanjut
    Tim Fasilitator

Penutupan
Dr. Viena Rusmiati Hasanah, S.IP., M.Pd

???? Link Pendaftaran: https://bit.ly/PelatihanERTeKa

“Jangan Sampai Menyesal”, lindungi yang anda cintai dari perilaku penyimpangan seksual

Kejadian penyimpangan seksual semakin meningkat menghancurkan keluarga, mendatangkan kepiluan dan kenelangsaan yang mendalam tatkala anggota keluarganya yang dicintai dan dibanggakan  mengaku lesbian atau gay (homoseksual). Dunia berasa berubah total, andaipun  upaya pemulihan  dan pengobatan dilakukan dengan membutuhkan energy, biaya dan waktu yang tidak sedikit, tetapi kehidupan  tidak akan sama lagi. Oleh karena itu agar “jangan sampai menyesal” perlu kita kenali bagaimana melakukan pencegahan  dan perlindungan keluarga .

Fenomena Perilaku Seksual Menyimpang (PSM)  semakin marak dan meresahkan, karena mengancam sendi-sendi ketahanan keluarga. Berdasarkan laporan perkembangan HIV AIDS & PIMS di Indonesia, pada periode Januari-Maret 2021, jumlah kumulatif ODHA ditemukan (kasus HIV) sebanyak 427.201 orang, sedangkan jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 131.417. Sebagian besarnya adalah kelompok umur 25 – 49 tahun (71,3%), berjenis kelamin laki-laki (69%), dimana sebanyak 27,2% adalah homoseksual yang merupakan kelompok populasi LSL (26,3%) dan Waria (0,9%). Jadi selain mengalami masalah psikis para perilaku penyimpangan seksual ini juga mengancam kesehatan.

Tetapi banyak keluarga yang tidak tahu kemana mencari bantuan atau karena malu sehingga menghindari bantuan bahkan ada yang menolak bantuan, sehingga lambat laun pada akhirnya keluarga tersebut menjadi ”berdamai” dan akhirnya seakan “menerima”  anaknya yang homo seksuai atau transgender. Lain halnya bila dialami pasangan suami-istri sering berakhir dengan perceraian, atau pemufakatan untuk menutupi keadaan dengan tetap berpura-pura sebagai suami istri dan ayah ibu bagi anaknya. Relakah kita? Tentu tidak.

Prof. Dr.Ir. Euis Sunarti, M.Si menulis secara lengkap dalam buku “Jangan Sampai Menyesal” agar para keluarga memahami bahwa PSM ini bisa disembuhkan karena bukan disebabkan faktor genetik tapi faktor lingkungan. Selain itu keluarga perlu mendeteksi PSM ini secara dini agar bisa diminimalisir dampak-dampak buruk yang akan dialami keluarga. Upaya perlindungan yang bisa dilakukan keluarga untuk pencegahan PSM-LGBT adalah menanamkan nilai agama, membangun Interaksi keluarga yang harmonis, melakukan pola asuh yang baik, mengenali kerentanan dan peduli terhadap lingkungan eksternal keluarga.

SINOPSIS
Buku JANGAN SAMPAI MENYESAL
Penulis : Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si

Buku ini adalah buah dari perjalanan penulis dalam kurun waktu hampir enam tahun sejak tahun 2015, berkecimpung dalam upaya perlindungan keluarga dari perilaku seksual menyimpang (PSM) Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT), yang ternyata dilandasi oleh gerakan kebebasan orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender (SOGIE, Sex Orientation and Gender Identity and Expression). Sebuah Gerakan dengan menggunakan dalih bahwa adalah merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memilih homoseksual dan biseksual sebagai orientasi seksual individu, dan juga hak individu untuk memilih transgender sebagai identitas dan ekspresi gender. Selama kurun waktu tersebut, selain melakukan berbagai aktivitas edukasi dan advokasi kepada berbagai pihak, untuk mengerem laju keterpaparan dan penularan PSM kepada keluarga, bahkan “menghentikan” kepada berbagai pihak, penulis pun ikut menorehkan satu aksi monumental yaitu menjadi salah seorang pemohon judisial reviu ke Mahkamah Konstitusi RI (MK-RI) yang diinisiasi oleh AILA Indonesia, dengan mengajukan perluasan makna delik kesusilaan pada KUHP untuk larangan zina (Pasal 284), perkosaan (Pasal 285), dan cabul sesama jenis (Pasal 292).
Buku ini disusun dalam rangka menyediakan bahan bagi keluarga secara umum yang ingin memahami besarnya ancaman yang dibawa dari Gerakan HAM orientasi dan perilaku seksual menyimpang, dan secara khusus ditujukan bagi para eRTeKa GiGa Indonesia (Relawan Titian Kebaikan Penggiat Keluarga) dalam melaksanakan tugasnya memberikan edukasi kepada para keluarga. Ada beberapa kata kunci yang dicirikan dalam sub-label buku Jangan Sampai Menyesal : “Lindungi keluarga dan generasi penerus bangsa dari Gerakan kebebasan orientasi dan perilaku seksual menyimpang”, yaitu: 1) penekanan pada perlindungan; 2) subjeknya keluarga khususnya generasi penerus bangsa; 3) dari sebuah Gerakan sistematis dan terstruktur, 4) berdalih kebebasan hak asasi manusia, 5) untuk memilih dari ragam orientasi seksual dan 6) dari perilaku seksual yang secara normatif di Indonesia masih dan akan selalu dikategorikan sebagi penyimpangan.
Buku ini terdiri atas enam bab, yang diberi judul: 1) Titik yang Menentukan; 2) Risiko Membawa Bencana, 3) Gerakan LGBT Dunia dan Fenomenanya di Indonesia, 4) Landasan yang Ter-Di-Lupakan, 5) Nature versus Nurture, dan 6) Lindungi Keluarga. Pada beberapa bab yang memerlukan dokumen penting sebagai acuan, maka dilekatkan suplemen di bagian akhir bab tersebut. Pada bab pertama, dilekatkan dua dokumen penting dan memiliki kesejarahan terkait JR-MK (judisial reviu ke Mahkamah Konstitusi RI) mengenai permohonan perluasan delik kesusilaan zina, perkosaan, dan cabul sesama jenis. Dua dokumen tersebut yaitu ringkasan penulis sebagai pemohon JR dan dokumen dissenting opinion empat hakim MK-RI. Lainnya, pada bab kedua “Risiko Membawa Bencana” dilekatkan tiga dokumen, yaitu: 1) pengantar diskusi RDPU (rapat dengan pendapat umum) Komisi VIII membahas RUU P-KS (Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual), 2) dokumen catatan pengantar FGD (diskusi kelompok terarah) RUU P-KS yang diselenggarakan Fraksi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) DPR-RI pada Februari 2021, dan 3) dokumen usulan kepada badan legislatif DPR RI yang sedang kembali merumuskan RUU P-KS setelah masuk kembali dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Pada Bab III, dilekatkan satu tulisan DR Bagus Riyono tentang “Politisasi Ilmu Psikologi” yang digunakan untuk menunjukkan kesejarahan berubahnya status LGBT dalam klasifikasi penyakit mental. Untuk melengkapi pembahasan besarnya fenomena ancaman sehingga diperlukan upaya edukasi kepada masyarakat luas, pada lampiran disertakan dua lampiran yaitu kumpulan contoh kegiatan edukasi penulis, dan kumpulan hasil monitoring media penulis berkaitan dengan upaya perlindungan keluarga dari berbagai ancaman PSM.
Judul buku “Jangan Sampai Menyesal”, yang pada akhirnya dipilih, menunjukkan spirit utama penulis selama ini melakukan dan mengajak semua pihak untuk bergegas melakukan edukasi dan advokasi perlindungan keluarga. Mengajak kepada berbagai pihak: “Ayolah kita lindungi keluarga dan lingkungan kita, karena jika tidak, maka kita akan sangat terlambat dan kita akan menyesal, karena laju Gerakan LGBT sebagai HAM sangat nyata dan terasa di Indonesia”.


DIALOG PAGI DI RADIO DAKTA : MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA bersama Prof Dr.Ir.Euis Sunarti, M.Si

Keluarga merupakan entitas terkecil dari bangunan masyarakat yang memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keluarga berketahanan menjadi fondasi bangsa yang tangguh dan berketahanan.

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun 2020 telah banyak menimbulkan berbagai masalah dalam keluarga. Survey menunjukkan bahwa terjadi perluasan kerentanan dan krisis keluarga (Sunarti, 2020). Karenanya perlu upaya membangun ketahanan keluarga guna mencegah perluasan potensi dan terjadinya krisis.

Jangan lewatkan kajian GiGa Indonesia setiap Minggu ke 3 jam 08.00-09.00 di Radio Dakta 107FM atau melalui streaming http://www.dakta.com
membahas isu isu ketahanan keluarga Indonesia.

RUU KETAHANAN KELUARGA MENGAPA DITOLAK ?
Euis Sunarti
Guru Besar IPB University / Ketua Penggiat Keluarga Indonesia

Secepat kilat beberapa pihak menolak RUU-KK (Rancangan Undangan Undang
Ketahanan Keluarga). Mereka berkonsolidasi untuk mencari-cari cacat permanen
dalam draft RUU-KK yang baru saja diserahkan ke DPR-RI-RI. RUU-KK dituduh
mendiskriminasi perempuan, melanggengkan patriarki, bias gender, akan
memperlemah otonomi tubuh perempuan, dan dianggap sebagai kemunduran dari
bentuk keluarga yang sedang berubah. Memangnya keluarga Indonesia akan berubah
(tepatnya diubah) menuju kemana dan menjadi bagaimana?


Kokoh dan mengakar


Muatan RUU-KK memiliki landasan filosofis dan yuridis yang kokoh serta secara
sosiologis mengakar dalam kehidupan keluarga Indonesia. Nilai agama dan norma
masyarakat menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai
ibu rumahtangga. Lantas dikuatkan secara yuridis oleh UU Perkawinan yang disahkan
tahun 1974. Undang Undang tersebut menyatakan bahwa suami dan istri memiliki
kedudukan yang seimbang dalam keluarga, namun ada pembagian peran antara suami
dan istri. Istri dilindungi hak ekonomi dan harta pribadinya, dan tidak ada larangan
bagi istri untuk mengaktualisasikan diri dan berpartisipasi di sektor public. Muatan
tersebut juga tercantum dalam draft RUU Ketahanan Keluarga. Lantas mengapa
segelintir elit begitu alergi dengan struktur hirarkis keluarga dan begitu membenci
patriarki?
Struktur hirarkis dan konsekuensinya terhadap pembagian peran di keluarga diterima
oleh masyarakat Indonesia. Pembagian peran adalah hal yang alamiah dan dibutuhkan
dalam sebuah system, termasuk dalam keluarga. Pembagian peran kepada suami dan
istri bukan berarti menutup kesempatan bagi masing-masing untuk melaksanakan
peran lainnya. Ketika suami berperan sebagai pencari nafkah utama, tidak berarti
berlepas dari peran pengasuhan anak, justru memikul tanggungjawab besar dalam
mengawal pembinaan anak supaya berkualitas, berkarakter dan beradab. Ketika istri
berperan sebagai ibu memgelola fungsi ekspresif (pendidikan pengasuhan, reproduksi),
maka bukan berarti tidak boleh mengaktualisasikan diri untuk berpartisipasi di
masyarakat dan bekerja di sektor public. Pembagian peran antara suami istri tidak
otomatis menjadikan salah satu pihak lebih mulia dibandingkan yang lain. Kemuliaan
akan dicapai manakala suami dan atau istri menjalankan peran yang disepakati
sebaik-baiknya dengan ikhlas dan niat beribadah. Berkeluarga adalah ibadah
terpanjang yang dijalani manusia.
Alokasi dan akuntabilitas peran keluarga menjadi kunci ketahanan keluarga.
Pengambilan keputusan dalam keluarga dilakukan atas pertimbangan yang terbaik
bagi anggota keluarga dan bagi system keluarga. Diperlukan pengaturan dalam
mengawal semua sendi kehidupan yang bersifat multidimensi dalam keluarga. Dalam
ilmu keluarga, mekanisme tersebut diturunkan dari teori structural fungsional. Teori
yang mempercayai bahwa tidak mungkin ada individu atau system yang berfungsi
secara independen, melainkan saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Teori yang

mengakui keragaman sehingga diperlukan struktur untuk memastikan beragam fungsi
berjalan untuk mencapai tujuan.


Anti Patriarki


Lantas, mengapa ada segelintir elit yang anti patriarki dan merasa memiliki hak untuk
mengubah bentuk keluarga Indonesia ? dan menolak RUU-KK? Mereka menegasikan,
merendahkan bahkan melecehkan peran domestic seperti mendidik anak, fungsi
agama, reproduksi, membina lingkungan, dan perlindungan keluarga. Mereka
menolak pendekatan structural fungsional yang menjamin pembangunan manusia
berkualitas, agar tercipta ketertiban dan masyarakat madani, dan akhirnya Bangsa
Indonesia yg maju dan beradab.
Jika merujuk sejarah, anti patriarki didengungkan para feminis yang senantiasa
melakukan gerakan penyadaran bahwa perempuan senantiasa terdiskriminasi,
termarjinalkan (pemiskinan ekonomi), tersubordinasi, mendapat pelabelan negative
(stereotype), mengalami kekerasan, dan menanggung beban ganda. Feminisme dapat
dibedakan menjadi: Liberal, Marxis, Radikal, Sosialis. Teologis, dan ekofeminisme.
Walaupun berbeda dalam penekanan factor yang mendiskriminasi perempuan, namun
hampir seluruh aliran feminisme memandang keluarga sebagai lembaga yang
melanggengkan patriarki dan sumber diskriminasi dan ketidaksetaraan gender. Oleh
karenanya solusi yang ditawarkan adalah runtuhkan institusi keluarga, atau
defungsionalisasi keluarga dengan membebaskan perempuan dari peran-perannya
yang menghambat partisipasinya di sektor public. Salah satu caranya adalah dengan
menghilangkan sifat alami feminin yang menyebabkan perempuan mau menjalankan
peran sebagai ibu dan mengurus rumah tangga. Penghapusan kualitas feminitas
perempuan di tingkat individu didasarkan konsep yang dikembangkan Simone de
Beauvoir yang menyatakan “lingkunganlah yang menciptakan wanita”, identitas
feminine dan maskulin merupakan rekayasa sosial. Pandangan tersebut sesuai dengan
filsafat ekstensialisme yang digaungkan Jean Paul Satre, abad 20-an yang menyatakan
“Tidak ada perbedaan alami pria dan wanita”.
Para feminis menjadikan kesetaraan gender sebagai pengarusutamaan penghilangan
diskriminasi kepada perempuan. Feminisme liberal memang tidak terlalu
mempersoalkan struktur patriarki, karena berasumsi bahwa kebebasan dan
kesetaraan (equalitas) berakar pada rasionalitas, namun patrarki dianggap penyebab
perempuan tidak bisa mengembangkan kapasitasnya untuk rasional. Feminis radikal
menyoal penyebab ketidaksetaraan gender dikarenakan perbedaan biologis perempuan
(dengan dominasi feminitas) dengan laki-laki (dominasi maskulinitas), sehingga
solusinya adala tuntutan kebebasan tubuh perempuan (otoritas tubuh perempuan).
Tuntutan otoritas tubuh perempuan (my body is mine) semakin bergaung disuarakan
feminis di Indonesia. Sementara feminis Marxis mempercayai bahwa diskriminasi
perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam “relasi produksi” dimana laki-laki

dipandang memiliki kekuasaan dan kontrol terhadap sumberdaya ekonomi.
Ideologi Marxis menghendaki masyarakat tanpa kelas. Feminis sosialis mempercayai
bahwa diskriminasi perempuan ada di kelas manapun, dimana kaum perempuan
sebagai proletar pada masyarakat kapitalis barat. Kepemilikan istri oleh suami
dianggap sebagai bentuk penindasan, pekerjaan rumah tangga dianggap tidak bernilai
dan tidak kreatif, mengisolasi perempuan dari dunia luar.

Kebijakan anti keluarga patriarki dipromosikan dan diadvokasi oleh UNDP. Allan
Carlson (1999) dalam tulisannya “The Natural Family Under Siege menguraikan
mengapa UNDP begitu gencarnya menyebarkan agenda Gender Mainstreaming ke
seluruh dunia. Dimulai dari peran suami istri Gunnar dan Alva Myrdal (berasal dari
Swedia) yang menempati posisi penting di UN. Mereka menulis buku “Crisis in the
Population Question” yang berargumentasi bahwa konsep perkawinan tradisional dan
pengasuhan anak harus diganti dengan “radical sexual egalitarianism” dan
menyerahkan pengasuhan anak ke Negara. Alva Myrdal yang dibesarkan dalam
lingkungan “a strong radical socialist ideological environment” adalah seorang feminis,
aktor intelektual yang berpengaruh menentukan kebijakan UN untuk menerapkan
ideologi yang dianutnya, yaitu sosialisme. Ia ingin menghapuskan semua peran wanita
didalam keluarga, sesuai dengan ide Friedrick Engels (sahabat karib Karl Marx) dalam
bukunya yang berjudul, Origin of Family, Private Property, and the State (1884).
Keluarga tradisional (yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga) adalah cikal
bakal masyarakat yang berkelas-kelas atau kapitalisme (suami sebagai kapitalis dan
isteri sebagai proletar), maka untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas,
penghapusan institusi keluarga adalah prasyaratnya.
Lebih jauh Megawangi (2012) menganalisis berbagai sumber dan menyimpulkan bahwa
agenda kesetaraan gender bukan tujuan utama Alva Myrdal, tetapi ada tujuan yang
lebih besar lagi, yaitu menciptakan masyarakat yang tanpa kelas (yang memberikan
kekuasaan besar kepada Negara, sehingga masyarakat menjadi begitu tergantung
kepada Negara) melalui penghapusan lembaga perkawinan dan institusi keluarga.
Pengaruhnya yang begitu mengakar di lembaga UN, sampai sekarang masih terlihat
jelas dengan adanya konsep Gender Mainstreaming yang telah mempengaruhi dunia,
termasuk Indonesia. Megawangi pun mempertanyakan: “mungkinkah tanpa sadar kita
telah “menari diatas gendang” ideologi Alva Myrdal (?)”
Anti keluarga patriarki yang disosialisasikan UNDP dibalut program “penghilangan
diskriminasi terhadap perempuan” (CEDAW, convention on elimination discrimination
against women) dan kemudian diratifikasi oleh hampir seluruh negara. Indonesia ikut
menandatangani CEDAW dan pada 24 Juli 1984 dan telah meratifikasinya melalui UU
RI No. 7 Tahun 1984. Hal tersebut bersifat legally binding, sehingga Indonesia harus
melaporkan hasilnya kepada Komite CEDAW di PBB. Undang Undang 7/1984
merupakan dasar pengarusutamaan gender, dimana ketidaksetaraan merupakan
bentuk diskriminasi. Sejak itulah bentuk keluarga Indonesia yang dibangun dengan
aturan sebagaimana dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 ingin diubah menjadi
keluarga berbasis kesetaraan gender. Sementara Amerika, sampai kini, setelah empat
dasawarsa pasca ratifikasi CEDAW oleh PBB (1979) masih belum meratifikasi CEDAW.
Karena menolak intervensi PBB. Bahkan organisasi civil society yang pro keluarga
menolak CEDAW karena akan membahayakan bagi anak, bagi perkawinan, dan
kepercayaan agama, lebih membawa masalah daripada manfaat, akan mengancam dan
merusak peran antara suami dan istri.

Seringkali ter(di)lupakan adalah bahwa kesetaran gender UNDP menggunakan
indikator kuantitatif GDI (Gender Development Index) dan GEM (Gender Empowerment
Measurement), dimana kesetaraan antar laki-laki dan perempuan terwujud jika data
terpilah menunjukkan 50/50. Yang paling kritis adalah kesetaraan ekonomi dan

berpartisipasi di sektor politik. Sebagai contoh, ketika suami menyumbang pendapatan
3 juta rupiah/bulan sementara istri menyumbang 2 juta/bulan, maka itu bias gender,
apalagi jika istri memilih menjadi ibu rumah tangga dan mengasuh anak dan tidak
menyumbang pendapatan.
Semangat dalam advokasi gender mainstraiming adalah bahwa perempuan berkualitas
hanya dan jika hanya masuk ke sector public, memperoleh posisi yang setara dan
menyumbangkan ekonomi yang nilainya sama seperti laki-laki. Disisi lain, peran
domestic seperti mengurus keluarga dan mengasuh anak itu tidak berharga. Bahkan
dalam naskah akademis rancangan undang undang Keadilan dan kesetaraan gender
dinyatakan bahwa kedekatan ibu dengan anak merupakan penyebab perempuan tidak
maju. Padahal ratusan penelitian membuktikan bahwa kelekatan (bonding attachment)
orangtua dengan anak merupakan basis terbentuknya trust sebagai dasar
perkembangan kepribadian yang sehat (integaritas). Olehkarenanya muncul penolakan
dan perlawanan dari masyarakat, sehingga terjadi penundaan pembahasan RUU
Keadilan dan kesetaraan gender. Penolakan berlanjut ketika merebak fenomena
penyimpangan homoseksual di Indonesia, dimana konsep orientasi seksual dilekatkan
dengan identitas dan ekspresi gender dalam konsep SOGIE (sexual orientation, gender
identity and expression). Ternyata SOGIE tercantum dalam Naskah Akademik RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-P-KS), sebagai subjek yang perlu dilindungi.


Tirani minoritas?


Mayoritas keluarga Indonesia menerima dan menjalankan keluarga hierarkis structural
fungsional sebagai model ideal. Beberapa kali survey menunjukkan bahwa para
perempuan (baik sudah maupun belum menikah) tetap menghendaki laki-laki sebagai
pemimpin dan kepala keluarga. Jika keluarga hierarkis structural fungsional memiliki
landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang kokoh, lantas mengapa ada segelintir elit
yang menyalahkan, dan memaksakan untuk mengubahnya dengan intervensi nilai
yang berseberangan? dapatkah kondisi ini termasuk yang disebut tirani minoritas?
Lantas bagaimana dengan hak keluarga Indonesia untuk menjalankan bentuk
kehidupan keluarga yang dipilihnya ?

DEKLARASI YOGYAKARTA TENTANG KEMULIAAN MANUSIA 2016

Prinsip-Prinsip Dasar dalam Menjaga Kemuliaan Manusia dalam Menegakkan Peradaban yang Tinggi dan Mulia

Pada tanggal 6 November 2016 dilaksanakan The 5th International Conference of International Association of Muslim Psychologists. Konferensi yang digelar di Yogyakarta ini dihadiri oleh 56 Psykolog Muslim dari beberapa negara diantaranya Indonesia, Yaman, Sudan, Pakistan, Malaysia, Jerman, dan Australia. Konferensi ini melahirkan Deklarasi Yogyakarta yang memuat 22 Prinsip tentang Kemuliaan Manusia.

Kemuliaan manusia adalah hak asasi manusia yang paling berharga yang dari situ hak-hak dasar lainnya diturunkan. Kemuliaan manusia bersifat suci karena ia merupakan anugerah dari Tuhan. Kemuliaan manusia tidak boleh dilanggar dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk dengan penghinaan, diperalat atau dijadikan objek, degradasi, dan dehumanisasi. Kemuliaan manusia wajib dipandang dalam konteks individu terkait dengan diri seseorang, dan juga dalam konteks keluarga yang di situ nilai ketuhanan seseorang disosialisasikan dan diinternalisasikan.

Misi utama kehidupan adalah memelihara kemanusiaan melalui peradaban yang tinggi dan mulia. Upaya-upaya untuk memelihara kemanusiaan dan peradaban perlu dibingkai dengan ikatan-ikatan keTuhanan yang melampaui kemanusiaan itu sendiri. Dalam menghargai Kemuliaan manusia, upaya apa pun untuk memelihara kemanusiaan semestinya dibingkai dan dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip keTuhanan, ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Pencipta manusia. Oleh karena itu, orientasi-orientasi dan tindakan-tindakan yang melanggar prinsip-prinsip keTuhanan merupakan penolakan fatal terhadap fungsi-fungsi biologis, psikologis, reproduktif, sosial, dan spiritual manusia yang akan berdampak buruk bagi kehidupan, keseimbangan, keselarasan, dan keberlanjutan umat manusia.

Esensi dari kebebasan manusia adalah memungkinkan seseorang untuk mengambil keputusan yang bijak berdasarkan nilai-nilai luhur, keunggulan moral, dan ketajaman hati nurani. Setiap individu mampu memilih jalan yang menyempurnakan dirinya sebagai manusia. Mereka tidak boleh melepaskan rasa hormat terhadap dirinya dengan tunduk pada tekanan sosial dan harus mempresentasikan dirinya sebagai teladan Kemuliaan manusia. Ketika dihadapkan dengan perasaan-perasaan takut menghadapi celaan, kemiskinan, kelaparan, atau kematian, setiap individu harus berpegang teguh pada nalar dan hati nuraninya tentang mana yang benar dan salah, sesuai dengan peraturan-peraturan keTuhanan. Sebagai bagian dari persaudaraan yang terpadu, manusia harus berkontribusi dalam usaha-usaha untuk mencapai potensi kemanusiaan yang optimal.

Dalam hubungan antara rakyat dan pemerintah, seseorang tidak boleh dipaksa untuk memilih sebuah pemerintahan atau diberi informasi yang salah mengenai kinerja pemerintah. Pemerintah dan warga negara berhak merumuskan kearifan lokal dan norma sosialnya masing-masing. Oleh karena itu, sebuah negara tidak boleh memaksakan nilai-nilainya pada negara lain. Sejarah dari sebuah bangsa adalah akumulasi yang unik dari nilai-nilai dan kearifan terkait hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban demi kesempurnaan kehidupan bagi warga negaranya.

Nilai-nilai kemanusiaan merupakan elemen dasar dalam kodrat manusia yang akan dikembangkan demi tercapainya Kemuliaan manusia. Hal ini adalah gerakan yang bersifat evolutif di mana tak satu pun bagian dari eksistensi manusia diperbolehkan untuk merusak yang lainnya dan tak satu pun dari elemen-elemen ini diperbolehkan untuk menghentikan gerakan masyarakat tertentu untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Kodrat manusia yang telah dikaruniakan Tuhan ibarat biji dan potensi yang tersembunyi di dalamnya saat awal mula diciptakan dan akan tumbuh subur apabila manusia mengikuti jalan yang benar.

Manusia berbeda dari makhluk lainnya dalam hal kebebasan untuk memilih. Tindakan dan perilaku mereka adalah hasil dari pemikiran dan kehendaknya sendiri. Sebagian besar manusia dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya yang terdiri dari lingkungan fisik dan sosial. Manusia adalah makhluk sosial yang secara kodrati berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia diciptakan oleh Tuhan, Pencipta alam semesta. Keterkaitan manusia dengan Tuhan mengandung dimensi-dimensi yang berbeda, dan merupakan elemen transendental yang mempengaruhi mereka sebagai pribadi dan hubungannya dengan Tuhan dan ciptaan lainnya. Oleh karena itu, perlu untuk menghormati kodrat unik biologis, psikologis, sosial, dan spiritual yang dimiliki manusia.

22 Prinsip Deklarasi Yogyakarta Tentang Kemuliaan Manusia 2016

  1. Hak-hak untuk menjaga Kemuliaan manusia melalui nilai-nilai keTuhanan
  2. Hak-hak untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ketahanan keluarga
  3. Hak-hak mendapatkan kesetaraan dan non-diskriminasi
  4. Hak atas kehidupan
  5. Hak-hak anak dalam keluarga
  6. Hak atas kesetaraan di muka hukum
  7. Hak untuk memperoleh perlindungan dari dehumanisasi
  8. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan derajat
  9. Hak untuk mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, penjualan, dan perdagangan manusia
  10. Hak atas pekerjaan
  11. Hak atas standar hidup yang memadai
  12. Hak atas tempat tinggal yang memadai
  13. Hak atas pendidikan
  14. Hak atas standar kesehatan yang setinggi-tingginya
  15. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi
  16. Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat untuk maksud-maksud damai
  17. Hak atas kebebasan hati nurani dan beragama
  18. Hak atas kebebasan bergerak
  19. Hak turut serta dalam urusan publik
  20. Hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan
  21. Hak untuk memajukan Kemuliaan manusia dan peradaban yang mulia
  22. Tugas dan tanggung jawab

SHARING SESSION GIGA INDONESIA 2021

GiGa Indonesia melaksanakan Sharing Session dengan seluruh anggotanya. Kegiatan ini bertujuan untuk saling berbagi lesson learn dari masing masing gugus tugas dan penguatan organisasi. Pada kegiatan ini pula dilalukan launching gugus tugas Bengkel Kreatifitas Giga (BKG) dan e-book “ibu” yg merupakan goresan pena Prof Euis Sunarti…

DENGAR PENDAPAT MASYARAKAT ,MPR RI -GIGA INDONESIA

Dalam rangka memfasilitasi wadah berdialognya masyarakat dengan wakilnya, untuk menyampaikan
saran dan masukan mengenai kebijakan-kebijakan sosial budaya di Indonesia, Bidang Pengkajian
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) bekerjasama dengan GiGa
Indonesia, mengadakan kegiatan Dengar Pendapat Masyarakat (DPM). Pada kegiatan tersebut,
diharapkan menjadi upaya untuk mewujudkan kebijakan publik berbasis keluarga.

Kegiatan DPM ini diikuti oleh anggota Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia, Instansi Pemerintah,
Lembaga Masyarakat/Komunitas dan masyarakat umum yang berminat dan concern dengan
pembangunan keluarga.

Kegiatan dilaksanakan pada:
Hari, tanggal : Kamis, 16-12- 2021
Waktu : 08.30 s.d. 11.30 WIB
Tempat : Amaris Hotel Pakuan, Bogor

FGD Piloting Kampung Ramah Keluarga dalam Perspektif Ecovillage Untuk Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan di Mataram dan Yogyakarta

Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si. sebagai ahli ketahanan dan pemberdayaan keluarga telah mengembangkan program/konsep ecovillage dan pembangunan wilayah (kampung) ramah keluarga sejak Tahun 2006. Pada tanggal 19-21 November 2021 di Mataram NTB dan tanggal 3-5 Desember 2021 di Yogyakarta, Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia mengadakan Forum Group Discussion (FGD) Piloting Kampung Ramah Keluarga dalam Perspektif Ecovillage untuk Pencapaiaan Pembangungan Berkelanjutan (SDGs).

Kegiatan FGD ini difasilitasi oleh Pusat Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi BPSDM Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

PESAN CINTA SEORANG IBU KEPADA PARA PEMUDA INDONESIA

Euis Sunarti

Guru Besar IPB Bidang Ketahanan & Pemberdayaan keluargaKetua GiGa (Penggiat Keluarga) Indonesia

WAHAI PEMUDA INDONESIA

Engkau mampu mengguncang dunia

Engkau mampu menaklukkan keras dan liarnya alam

Engkau mampu menyelami dalam dan kelamnya lautan terdalam

Engkau mampu mendaki puncak gunung tertinggi

Engkau mampu menjelajahi alam semesta raya

Engkau mampu menjadi apapun yang kau inginkan, yang engkau cita2kan

Menjadi ilmuwan dan ulama; menjadi teknokrat, politisi, saudagar,

Menjadi penulis, pujangga, artis, dan lainnya

Engkau ingin membuktikan kepada dirimu sendiri

Kepada masyarakat, bangsa dan negara

Bahwa engkau mampu menjadi insan pembangun bangsa

Dan di hati terdalam-mu Engkau ingin membuat ayah ibumu bangga

Engkau ingin membuat keluarga yang kau bangun sendiri bangga

Atau keluarga yang kelak akan kau bangun dengan orang yang kau cintai

WAHAI PEMUDA INDONESIA

Lihatlah ragamu dan rabalah jiwamu

Kenali dirimu dan fahami arah jalan yang kau tuju

Sejauh manapun kau melangkah, berlari, bahkan terbang tinggi ke angkasa

Kau akan kembali ke pelukan keluarga

Karena bagimu, keluarga adalah

Harta yang sangat berharga

Tempat yang kau rindukan, yang senantiasa membawamu pulang

Tempat aman dan nyaman yang kau butuhkan untukmu bersandar

WAHAI PEMUDA INDONESIA

Jika kau lihat, kau rasakan kekurangan, ketidakpuasan,

bahkan ketidakbahagiaan di keluargamu 

Maka belajarlah bagaimana membangun keluargamu berketahanan

Berusahalah dan berjuanglah untuk memperbaikinya

Dan pastikan agar keluargamu terbebas dari hal itu

Jika kau rasakan banyak hal-hal baik di keluargamu

Maka berjanjilah, engkaupun akan mempertahankan dan memeilihanya

Juga menguatkan dan meningkatkan kebaikan-kebaikan tersebut

karena keluarga pembangun masyarakat madani

Karena keluarga pembangun bangsa dan negara

Negara yang kau cita-citakan, yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur

WAHAI PEMUDA INDONESIA

Ingatlah selalu, apapun keadaanya, bagaimana bentuk dan ekspresinya

Bahkan dengan cara yang tak kau pahami

Keluarga akan selalu mendukungmu

Keluarga yang tulis mengharapkan keberhasilanmu

Ayahmu yang kadang dalam diam-nya, senantiasa melindungimu

Ibumu, di sanubari terdalamnya, setiap saat senantiasa mendoakanmu 

Maka dari itu,

Berjuanglah sepenuh raga, berusahalah sepenuh jiwa

Membawa kebanggaan dan kebahagiaan bagi keluarga

Jika kau merasa lelah, dan menemukan kebuntuan dalam usahamu

Merasakan kekecewaan bahkan keputusasaan

Merasa hawatir, cemas, sedih, bahkan takut

ingatlah keluarga yang dapat menopang bahumu

Ingatlah, ada keluarga yang dapat menampung keluh kesahmu

Ingatlah, ada keluarga yang dapat meredakan kegelisahanmu

Senantiasa berdoalah mengiringi semua langkahmu

dan bertawaqallah agar jiwamu damai, hatimu tenang, fikiranmu terang

WAHAI PEMUDA INDONESIA

Dalam langkahmu menggapai cita-cita

Dalam langkahmu mengguncang dunia

Pastikan di dalamnya cita-cita membangun keluarga

Meniti merintis membangun keluarga harmonis bahagia

Keluarga yang hangat, yang nyaman, yang penuh cinta

Keluarga yang berketahanan sebagai dasar ketahanan bangsa

Sebagai fondasi dan benteng peradaban bangsa

WAHAI PEMUDA INDONESIA,

Kita telah memiliki nilai-nilai luhur Keluarga Indonesia

Memiliki falsafah landasan keluarga Indonesia

Memiliki hukum yang kokoh sebagai landasan membangun keluarga

Dan telah mengakar dilaksanakan oleh keluarga Indonesia

Oleh karenanya, hati-hatilah

Janganlah kalian tergiur dan berpaling

Kepada nilai asing dan agenda asing

Yang ingin mengubah keluarga Indonesia

Karena sejatinya keluarga Indonesia adalah

Keluarga yang Relijius Hirarkis dan harmonis

WAHAI PEMUDA INDONESIA,

Ingatlah, hargailah, dan teruskan perjuangan para pemuda

Kala dulu membawa Indonesia merdeka

Membawa Indonesia diakui sebagai negara

Kini engkau menggantikan mereka

Para pahlawan dan syuhada

Teruskan perjuangan mereka membangun Indonesia

Menjadi bangsa yang dihargai dunia

Nb. Tulisan ini ditulis saat sakit melanda,

Tanda cinta kepada para Pemuda Indonesia